Latar belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh
kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung
keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau
yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada
kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada
tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung
pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan
keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang
dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar
meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821,
walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak
membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari
perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam
Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan
Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen
Pada
tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10
Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam
dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal
dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah
mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang
Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada
tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada
tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke
Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja
terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan
Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April
1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.]
Sementara pada
bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan
di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang.
Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena
luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di
Padang.
- Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum
Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya.
Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum
Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November
1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga
kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa
dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku
Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum
Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama
"Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang
mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
yang artinya adat Minangkabau
berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
- Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir
di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan
di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
- Peperangan jilid ke – 2
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya
kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk
menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk
penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek).
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu
produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada
perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat
Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat
atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau
monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda
melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek
yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu
dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
Pada awal bulan
Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku
Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout
melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia
memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo,
salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang
telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang
di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang
ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen
resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan
dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau
Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda
terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan
dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara
Belanda.
Pada bulan Juli 1832,
dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger,
untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut
pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda
bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus
melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh
kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah
jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa
mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan
Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi
basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu
pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi,
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.
Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat
dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal
untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya.
Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut
oleh tentara Belanda.
- Serangan ke Bonjol
Lamanya penyelesaian peperangan ini,
memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
Johannes van den Bosch
pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.
Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum
terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan
dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi
Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil
memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam
beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti
meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat
membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van
den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda
hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan
mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga
terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan
kubu pertahanannya.
Pada tanggal
16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai
pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer,
memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing
dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba;
mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil
mencapai tepi Batang Gantiang,
kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu
jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan
Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti,
sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh
tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan
rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan
Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu
pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang
Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8
Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak
menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan
membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di
seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya
250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba
membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol.
Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit
Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda
banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan
sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada
tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai
gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Benteng Bonjol terletak di atas bukit
yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu
jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang,
sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari
utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya
dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di
antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding
luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu
berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati
bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar
dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan
inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu
pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.
Pengepungan Bonjol
Melihat kokohnya Benteng Bonjol,
pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk
melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum
Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai
berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu
dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk
mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia
atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif
terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis
datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis
ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu
kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan
Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan
Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari
arah Luhak Limo Puluah dan
Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada
pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda
menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya
digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan
semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan
Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati
mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda
kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari
serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun
mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali
melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha
terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian
Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil
membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan
semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan
musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan
meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan
penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens,
kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang
bernama Mayor Jenderal Cochius
untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda
yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya
Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa
perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk
di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu
Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut
di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten
MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan
seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia
didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys,
serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana
dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs,
serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang
bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang
lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada
tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels
sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai
keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh,
dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari
benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah
Marapak.
Perundingan
Dalam pelarian
dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi
terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata
hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi
seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang
untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya
melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari
lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol
diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa
senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol,
peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol
dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke
Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia
dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke
Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan
selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol
menghembuskan nafas terakhirnya.
- Akhir peperangan
Meskipun pada tahun 1837 Benteng
Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan
ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng
tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah
ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan
akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung
ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden
telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
What are the best casino apps for real money in December 2021
BalasHapusBest 포커 casino apps in 2021. 여수 출장안마 Casino app ranking, casino download, gambling 영주 출장샵 news, bonus codes, promotions 정읍 출장마사지 and more. Rating: 4.5 · Review by 문경 출장안마 CasinoSites.One