
Sejarah Perang Bali 1846-1849. Pada abad
19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian
di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh
jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara
lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan
Buleleng.
Benteng Jagaraga berada di atas bukit,
berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk
menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam,
Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah
seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri
Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita
untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang
Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit.
Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit
lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.
Pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan
pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan
infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels
dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada
seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tangal 19
April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan
jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain
puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung,
Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh
ke tangan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar