Perang Tapanuli, juga dikenal sebagai Perang Batak
(1878-1907), merupakan perang antara Kerajaan Batak melawan Belanda. Perang ini
berlangsung selama 29 tahun.
Alasan meletusnya perang ini adalah:
- Raja Sisingamangaraja XII tidak senang daerah kekuasaannya diperkecil oleh Belanda. Kota Natal, Mandailing, Angkola dan Sipirok di Tapanuli Selatan dikuasai oleh Belanda.
- Belanda berusaha mewujudkan Pax Netherlandica.
Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya
di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama
Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending,
dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja
Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung.
Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu,
Siborong-borong, Balige Laguboti
dan Lumban Julu.
Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk
menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak.
Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak.
Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh
Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan
pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans
Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta
dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya
berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan
dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama
dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi.
Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli